Rabu, 09 Desember 2015

Unsur-Unsur Kebudayaan Jawa

 MITOS DALAM TRADISI KEAGAMAAN MASYARAKAT ISLAM KEJAWEN

A.    Latar Belakang
Momentum suran, grebeg mulud, grebeg puasa, grebeg besar, tanggap warsa malam Jum’at Legenan dan beberapa upacara keagamaan islam lainnya, adalah merupakan upacara keagamaan yang telah mentradisi di kalangan masyarakat muslim jawa. Upacara-upacara keagamaan itu, dalam pelaksanaannya senantiasa memiliki nuansa keyakinan keagamaan yang variatif dan sarat dengan nilai-nilai  mitos. Tidak sedikit upacara-upacara ritual dan beberapa aktifitas pada bulan-bulan serta hari tersebut yang mengarah pada perilaku irasional, mulai dari bentuk kepercayaan yang bersifat dongeng hingga pada perilaku mitos.
Praktik ritualitas pada setiap hari besar di atas, pada satu sisi mengandung nilai-nilai ajaran keagamaan secara formal, namun di sisi  lain aspek-aspek ajaran itu tanpa disadari telah mengalami proses akulturasi maupun sinkretisasi dengan keyakinan local setempat. Pada malam 1 sura misalnya,  fenomena di atas banyak kita jumpai pada sejumlah masyarakat yang mengunjungi tempat-tempat yang dianggap sacral, yaitu Punden, makam, laut dan tempat-tempat lain yang dianggap keramat. Di tempat itu pula mereka terkadang melakukan upacara ritual pembakaran kemenyan untuk mengadakan pemujaan dan pengkultusan terhadap benda-benda keramat secara berlebihan. Bagi muslim yang taat di tempat itu mereka mengadakan bacaan-bacaan yasin, tahlil, istighastah maupun bacaan-bacaan doa lain yang dianggap sebagai bacaan penting menurut mereka. Pada momentum itu, tanpa terkecuali muslim dari kalangan abangan, santri ataupun priyayi mereka senantiayasa meminta kekayaan, banyak rizqi, laris dagangannya, cepat mendapatkan jodoh dan sukses dari semua kebutuhan hidupnya.  Lebih menarik lagi dari sejumlah masyarakat yang berbeda, diantara mereka ada yang beramai-ramai menghampiri laut dengan membawa tumpeng dan sesajen lengkap dengan peralatan-peralatan lainnya kemudian benda-benda itu dibuang di tengah laut tersebut. Di tempat yang sama terdapat pula model upacara ritual yang berbeda, dengan cara melempar kepala kurban (kerbau) di tengah-tengah laut dengan maksud mereka melakukan sedekah laut. Praktek ritualitas yang sarat mitos itu juga terjadi di bulan maulud, yang berbentuk upacara-upacara selamatan. Tidak hanya itu, menjelang puasa pun acara selamatan ini  juga diselenggarakan, yang sering dikenal dengan acara megengan. Dalam acara itu jenis makanan yang tidak bisa ditinggalkan biasanya adalah makanan apem,  dimana menurut kepercayaan, makanan itu berfungsi untuk melempar para malaikat yang hendak datang ke ahli-ahli qubur merekaDengan cara itu mereka merasa senang karena para ahli quburnya selamat dari siksa qubur. Mengapa upacara-upacara di atas, yang sangat kental dengan berbagai peristiwa religius, tiba-tiba menjadi peristiwa yang sarat mitos? Kegiatan-kegiatan upacara ritual tersebut, dalam keyataannya belum pernah dievaluasi sejauh mana kontribusinya bagi perubahan perilaku manusia, selain dari bentuk kepercayaan mitos itu sendiri. Selain itu mengapa kegiatan dan upacara seperti di atas banyak diminati oleh masyarakat setempat? Mengapa kegiatan tersebut bisa berjalan secara intens dan rutin tanpa mengenal resesi dan inflasi moneter? Apa fenomena  dibalik upacara-upacara yang sarat mitos itu?
Dari beberapa permasalahan di atas, lebih rinci akan diajukan beberapa pertanyaan  sebagai berikut: Bagaimana masyarakat islam kejawen membangun kepercayaannya, ketika mitos dan ajaran murni keagamaan sama-sama kuatnya untuk mempengaruhi keyakinan mereka? Bagaimana masyarakat Islam Kejawen memahami makna simbol-simbol budaya dalam agama mereka? Bagaimana pemahaman mereka terhadap mitos?

B.     Kepercayaan : Diantara  Agama dan Religi  
Koentjaraningrat—penulis buku Kebudayaan Jawa—membedakan antara istilah agama, religi dan kepercayaan. Istilah agama menurutnya lebih tepat untuk menyebut agama-agama formal (abrahamic religion) yang diakui, baik Hindu, Budha, Islam, Kristen maupun Katolik. Sedangkan religi adalah untuk menyebut sistem-sistem kepercayaan yang tidak diakui. Sementara itu kepercayaan adalah sesuatu yang memiliki makna khas yaitu komponen kedua dalam setiap agama maupun religi.   Dengan demikian istilah agama lebih identik dengan agama-agama besar di dunia, sementara kebatinan yang ada di Jawa cenderung tidak dianggap sebagai agama besar tersebut.
Menuirut Mulder, kepercayaan jawa sebelum banyak bersentuhan dengan agama-agama besar dimaksud telah memiliki pandangan hidup yang disebut dengan kejawen atau jawanisme. Pandangan jawa ini bersifat sinkretis dan toleran. Bermula dari sikap ini “ kejawen” merupakan dasar yang baik untuk menerima masukan-masukan baru dari agama-agama besar tersebut. Bahkan dalam bukunya yang lain Mulder mengatakan bahwa untuk masuk menjadi salah satu agama resmi seseorang tidak harus mencegah praktek mistik dalam batinya. Mentalitas kejawen condong kepada sinkretisme dan sanggup menampung berbagai argumentasi agama formal.
Perlu dimaklumi bersama bahwa yang dimaksud dengan kejawen disini terdiri dari dua jenis lingkungan, yaitu lingkungan budaya istana yanmg relatif telah menyerap unsur-unsur hinduisme dan lingkungan budaya pedesaan (wong cilik) yang masih hidup dalam bayang-bayang animisme-dinamisme.  Dalam prakteknya, perjalanan sejarah islamisasi di Jawa itu justru menghadapi kesulitan, utamanya di kalangan budaya istana. Kesulitan itu dikarenakan raja majapahit ketika itu menolak islamisasi di kalangan istana tersebut. Jika raja menolak maka islam merasakan kesulitan untuk masuk di kalangan istana. Atas dasar kenyataan ini para penyebar islam lebih menekankan islamisasi itu di lingkungan pedesaan, khususnya di kalangan pesisir Pulau Jawa. Disanalah islam berkembang, dan tidak lama kemudian perkembangan islam yang ada di lingkungan pedesaan itu menjadi pesaing intelektual kalangan istana. Inilah kemudian terjadinya proses inkulturisasi dan akulturisasi budaya jawa dan budaya islam yang memanifestasi menjadi islam jawa.
Pada gilirannya islam jawa ini telah mampu menampung dua model institusi keagamaan, yaitu antara agama resmi dan yang tidak resmi. Meski secara formal masing-masing institusi keagamaan tersebut terkesan memiliki konstruksi keyakinan yang berbeda. Institusi keagamaan pertama, memiliki keyakinan pada Tuhan YME. Sedangkan institusi kedua terdapat beberapa aliran, sebagian aliran memiliki keyakinan terhadap nenek moyang, sebagian aliran yang lain percaya terhadap sankan paraning dumadi yang artinya menuju ke asal dan tujuan kejadian. Pendapat yang mayoritas disepakati oleh aliran-aliran kebatinan adalah konsep yang kedua, yaitu konsep yang searti dengan menuju ke Tuhan. Atas dasar pandangan ini pula Woodward dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pada dasarnya semua aliran kebatinan di Jawa percaya kepada konsep ke maha esaan Tuhan/ konsep tauhid. Menurutnya tidak ada satupun  kepercayaan Jawa,-- termasuk pemeluk agama Budha yang nyata-nyata memiliki doktrin anatta (ketiadaan jiwa)-- yang menolak konsep ketuhanan yang maha Esa. Untuk menyebut simpul antar berbagai kepercayaan jawa inilah Woodward memunculkan gagasan dengan istilah “Islam Jawa”. Dimana gagasan ini didasarkan oleh kerangka teori mistisisme yang menurutnya mampu mempertemukan simpul-simpul berbagai aliran kepercayaan yang ada di Jawa. Dari pandangan Woodward itu telah melahirkan pertanyaan baru, yaitu benarkah antara sufisme dan sinkretisme memiliki  relasi Sebagaimana diungkapkan oleh Woodward bahwa sufisme memegang peranan prinsip dalam mengkonstruksi budaya Jawa. Dalam hal ini adalah mistik esoteris yang menurut Martin Lings --Mistikus Inggris—diakui sebagai salah satu bagian dari tradisi mistik Islam. Konsep manunggaling kawulo gusti, sebagai tradisi mistik jawa yang telah berkembang di kalangan kraton nampaknya lebih identik dengan tradisi esoterisme ini. Jika dikaji lebih detail konsep manunggaling kawulo lan gusti itu terdapat relasi yang dekat dengan mistik esoteris Ibn ‘Arabi tentang wahdatu al-wujud.  Sinkretisme adalah salah satu fenomena yang munkin terjadi dalam sejarah agama. Kemungkinan sinkretisme itu bisa dikaji dari titik singgung antara satu agama dengan agama lainnya dan antara agama dengan kebudayaan tertentu. Adanya titik singgung antara berbagai agama itu juga dirasakan oleh tradisi sufisme islam. Sufisme dalam Islam sebagai yang dikutif oleh Annemarie Schimmel adalah usaha untuk mendapatkan keselamatan individu melalui pencapaian hakikat tauhid. Lebih dari itu ia mengatakan bahwa realitas sepertinya tidak saja terdapat dalam islam melainkan berada dalam sepanjang sejarah mistisisme, namun dengan redaksi yang berbeda, ada yang mengatakan bahwa tidak ada dewa kecuali Allah, dan Tuhan merupakan objek mistisisme.  Pendapat tersebut memberi pemahaman bahwa sufisme dalam kenyataannya milik semua agama dengan objek yang sama, sekalipun dengan redaksi yang berbeda. Paham kesatuan agama (sinkretisme) agama nampaknya juga terdapat dalam sejarah sufisme Islam. Ibn ‘Arabi mengajarkan bahwa kesatuan agama-agama merupakan prinsip  yang diterima oleh para sufi. Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa semua agama baik yang tergolong samawi maupun ardi tidak ada perbedaan mengingat semua agama menyembah Tuhan yang satu, menampak dalam rupa-rupa mereka dan rupa-rupa sesembahan mereka. Pandangan ini memungkinkan tradisi sufi terbuka terhadap adanya sinkretis agama-agama. Terjadinya sinkretisme unsur-unsur agama dan kebudayaan itu menjadi sebuah keniscayaan.  Bagi kebanyakan antropolog, baik Barat maupun Indonesia mengatakan bahwa “Islam  Jawa”  identik dengan “Islam Sinkretis”. Dalam hal ini berbeda dengan Woodward, ia tidak mau menyebut islam jawa ini  identik dengan islam sinkretis. Karena dalam pandangannya, doktrin Islam telah menggantikan Hinduisme dan Budhisme sebagai aksioma kebudayaan Jawa.  Perbedaan pandangan Woodward dengan mayoritas antropolog Barat ini antara lain dilatar belakangi oleh sikap skeptisismenya dalam menilai antropologi Barat  yang telah gagal memahami islam Jawa. Tidak hanya itu kalangan islam puritan pun juga mengatakan persoalan yang hampir senada, yaitu bahwa islam jawa telah dianggap banyak mengalami praktek-praktek penyimpangan, sehingga islam jawa tidak lagi dinilai sebagai agama yang murni. Islam singkretisme sebagaimana dimaksudkan di atas secara umum dipahami sebagai suatu fenomena bercampurnya praktek-praktek dan kepercayaan-kepercayaan dari suatu agama dengan agama yang lainnya sehingga menciptakan tradisi baru yang berbeda. Berangkat dari definisi ini, seluruh agama--tanpa terkecuali--telah dimaknai sebagai sinkretis dalam keasliannya, karena msing-masing agama dibentuk melalui proses dialog dengan keyakinan-keyakinan lain. Sementara itu dalam pengetahuan modern konsep sinkretisme dibatasi pada sintesis keagamaan yang terbentuk setelah konsolidasi awal dari suatu agama. Menurut definisi ini berarti sinkretisme dipahami sebagai suatu praktek keagamaan yang telah menyimpang dari agama induknya atau ungkapan idealnya.  Meski sinkretisme itu menyimpang dari ideal normatif, namun dalam pandangan para penganutnya ia tetap memelihara ciri-ciri agama asal. Atas dasar fenomena ini sinkretisme tidak bisa disamakan dengan bid’ah. Seperti agama-agama dunia lainnya, pemahaman kaum muslim terhadap inti ajaran normatifnya selalu bervariasi sepanjang waktu dan tempat. Hal ini berarti bahwa upaya apapun yang dilakukan untuk menggambarkan mana yang betul-betul islam dan mana yang betul-betul sinkretis senantiasa memunculkan berbagai permasalahan nilai dan keputusan. Apa yang dianggap sinkretis oleh sebagian kaum muslimin belum tentu dianggap sinkretis oleh kaum muslim yang lain. Kotroversi ini muncul bukan baru-baru ini saja terjadi, melainkan sejak abad ke-19-20-an. Makna Simbol-simbol Budaya dalam Agama
Pembagian agama sebagai agama samawi dan agama ardi telah lama dipopulerkan dalam studi keislaman. Namun mengkategorisasikan islam sebagai agama samawi sementara non islam sebagai agama ardi adalah pengkategorisasian yang di bangun atas kerangka nalar keagamaan yang sepihak. Kerangka pemikiran subjektif misionaris yang bersifat apologis, memahami agama secara rigid. Padahal ketika islam dipahami seperti itu, berarti ia tidak mengenal kompromi dengan simbol-simbol budaya tertentu. Lalu bagaimana dengan agama Islam, apakah ia merupakan sebuah agama yang memiliki karakteristik serupa dengan agama-agama di luar dirinya? Semisal islam jawa, Budhisme maupun yang lainnya. Apakah ia juga mengalami proses sinkretis dari keasliannya? Jika demikian, maka apa perbedaan signifikan agama Islam dengan agama-agama yang lainnya? Jika dalam islam jawa kaya akan upacara-upacara ritual keagamaan yang bercorak lokal, maka apakah islam sepi dari dimensi ini?  Mengapa sebagian kalangan islam puritan menuduh islam jawa telah mengalami penyimpangan-penyimpangan dari ajaran induknya? Bukankah kosmologi Arab juga banyak memiliki andil dalam mempengaruhi ajaran islam murni? Lalu mengapa yang demikian tidak dianggap sebagai sinkretis dari keasliannya?  Benarkah islam sepi dari dimensi mitis. Fenomena perilaku mitis --yang marak di kalangan masyarakat islam kejawen-- selain menjadi sasaran kritik tajam dari beberapa kelangan islam puritan, akhir-akhir ini ia juga relatif banyak menyita perhatian di kalangan para antropolog.   Perilaku mitis tersebut, dalam pandangan kelompok puritanis dianggap sebagai sesuatu yang mengancam kemurnian agama. Karena perilaku ini –menurut mereka--disamping sebagai praktek ritual yang tidak memiliki dasar al-Qur’an dan al-Hadits, ia acapkali telah menggeser konstruksi teologis umat islam ke arah kemusyrikan. Sementara itu kelompok kedua menganggap bahwa praktek mitos adalah sebagai wujud kreasi manusia yang tanpa disadari ikut melestarikan dan menambah  khazanah budaya bangsa. Dua tipologi di atas dengan perspektif yang berbeda selamanya tidak akan pernah senada dalam memahami suatu fenomena keagamaan. Hal demikian dikarenakan pihak pertama memandang agama hanya bersifat monolitik, yaitu dari ranah teologis an sich, sementara pihak kedua telah menyentuh pada dimensi sosiologis. Kecenderungan dari kelompok pertama senantiasa ingin memilah secara tajam antara tradisi dan ajaran. Dari upaya-upaya ini diharapkan akan tampil kembali apa yang disebut dengan ajaran yang murni dari suatu agama. Bercampur baurnya ajaran dan budaya –oleh kelompok ini—telah dinilai sebagai praktek bid’ah, tahayul dan khurafat dalam beragama.  Atas dasar ini, misi dan visi kelompok islam puritanis senantiasa melakukan purifikasi ajaran agama.
Sementara di kalangan para antropolog, agama dipahami sebagai sistem budaya, yang meliputi simbol-simbol budaya sosial.  Agama tumbuh subur bersamaan dengan suburnya perkembangan budaya lokal tertentu. Dengan kata lain budaya lokal tidak jarang menjadi corak dominan dalam sebuah agama. Sakralitas suatu agama acapkali ditentukan oleh tradisi budaya lokal yang sudah menjadi mitos. Dengan demikian ketika agama kehilangan nilai-nilai sistem budaya yang meliputi simbol-simbol budaya sosial tertentu, maka para pemeluk agama tertentu akan mengalami kegersangan nilai-nilai sakralitas dan emosional keagamaan. Hal senada juga diungkapkan oleh Bassam Tibi dalam Islam and The Cultural Accomodation of Social change, ia mengatakan bahwa seluruh agama di dunia ini, tanpa terkecuali agama islam, selalu bersifat kultural, simbolik, sistemik dan sebagai bentuk dari sebuah realitas.  Masih menurutnya, Islam sebagai suatu agama merupakan potret dari realitas sosial, mencakup sistem simbol budaya yang sangat beragam, dan mengalami perubahan secara historis.  Lebih spesifik Milten Yinger mengatakan bahwa sekedar memahami agama tidak bisa dilepaskan dengan pemahaman kita terhadap budaya yang mempengaruhinya, karakter yang ada di dalamnya serta struktur sosial yang membawanya.
 Lebih dari itu Hans Kueng dengan menyitir pandangan para teolog modern mengatakan bahwa agama menurut mereka bukan lagi berada di langit plato yang sempurna dan suci murni, dan dari sana mengantarai manusia dan Tuhannya, melainkan ia adalah agama manusia biasa dengan daging dan darahnya.  Bahkan menurut Ignas kleden bahwa pergolaan manusia pada saatnya akan menjadi pergolaan agama. Unsur keputusan tiap penganut agama dan tindakannya  dari waktu ke waktu hendak mewarnai wujud agama itu dalam pentas sejarah. Dengan demikian hampir bisa dikatakan bahwa agama dalam realitasnya merupakan agama dengan dan karena keputusan dan pilihan manusia yang menghayatinya.  Dengan kata lain agama akan sangat dipengaruhi oleh pergolaan dan peradaban manusia pada kurun tertentu, situasi dan kondisi tertentu. Agama merupakan representasi psikis dan moral masyarakat yang tidak hampa sejarah. Dalam pandangan yang agak senada Taylor juga mengatakan bahwa agama manapun pada hakikatnya  selalu mengajarkan kepercayaan kepada keberadaan spiritual. Dia merasakan bahwa karakteristik semua agama, baik kecil maupun besar, kuno maupun modern, formal maupun non formal senantiasa mengajarkan kepercayaan kepada spirit yang mampu berpikir, bertindak. Esensi dari semua agama adalah kepercayaan terhadap yang maha hidup, sebagai kekuatan yang ada diluar semua yang ada. Dari situ Taylor menyebutkan bahwa telah terjadi hubungan yang intens antara ritual keagamaan dengan kepercayaan. 
Dari hasil pembacaan kita mengenai pandangan para agamawan tentang pentingnya simbol-simbol budaya bagi agama, tanpa terasa telah mengilhami pemikiran dan pemandangan kita tentang agama secara luas. Dari pemikiran keagamaan di atas kita bisa menarik benang merahnya bahwa agama dalam konteks apapun tidak bisa lepas dari semangat kosmos tertentu. Upaya-upaya pemurnian ajaran keagamaan yang dilakukan oleh kalangan puritan dogmatis adalah merupakan istilah lain dari praktek penggusuran paksa dari kosmologi islam (Arab) atas kosmologi tertentu (Jawa).
Padahal kosmologi Arab untuk bisanya dinilai lebih relevan oleh masyarakat muslim di jawa membutuhkan proses adaptasi yang tidak sederhana. Tidak cukup hanya dengan jalan melakukan doktrin-doktrin tertentu. Hal ini dikarenakan situasi dan kondisi moral budaya telah mengalami proses dialog dengan masyarakat tersebut secara intens. Inilah sebabnya perjumpaan religi, mitos dan magi terjalin begitu kuat, sehingga acapkali untuk membuat perbedaan diantaranya terkesan sangat sulit. Bahkan diantara ketiganya telah melebur menjadi satu kesatuan yang kuat yang tidak mudah untuk dipilah-pilah lagi, mana agama, mitos dan magi. Dengan demikian dalam praktik kehidupan sehari-hari pembatasan yang jelas dan cermat itu jarang mampu teraplikasikannya. Hanya saja masyarakat Islam kejawen ketika dihadapkan terhadap tiga persoalan di atas, yaitu agama formal, mitos dan magi terkesan berkecenderungan pada masalah yang kedua dan ketiga. Padahal menurut Andrew Beatty bahwa perpindahan dari situasi Islam tradisionalis menuju ke mistisisme Jawa barangkali bagaikan kita memasuki dunia yang berbeda dengan bahasanya sendiri dan pola pemikirannya sendiri. Meski demikian, walaupun kadang ada mistifikasi dan cenderung paradoks, dunia ini akan lebih jelas diartikulasikan dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, dibanding dengan keseharian Islam praktis. 
Masih menurutnya bahwa orang-orang jawa secara sederhana dapat didevinisikan sebagai orang yang cenderung menekankan bagian Jawa dari warisan kultural mereka dan menganggap afiliasi muslim mereka sebagai hal sekunder.  Jika Islam menjanjikan surga melalui kerelaan ritual dan pengabdian terhadap Qur’an, maka kejawen mengambil dunia sehari-hari sebagai teks kuncinya dan sosok manusian sebagai kitab sucinya. Jika Andrew Beatty—sebagai peneliti Variasi Agama di Jawa—menyimpulkan demikian, maka apa sebenarnya faktor yang melatarbelakangi muslim kejawen cenderung pada warisan kulturnya? Apakah karena dilatari oleh faktor keyakinan, faktor emosiaonal atau faktor pemahaman terhadap agamanya.
Jacob Vandenbregt –peneliti Islam Bawean—meneorikan bahwa betapa susahnya untuk memilah antara religi, mitos dan magi. Hubungan ketiganya, dalam pandangannya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Satu dengan yang lainnya merupakan instrumen yang saling menunjang. Ketika agama sepi dari masalah mitos dan magi, maka ketika itu pula agama hilang nilai-nilai sakralitasnya. Demikian juga Andrew Beatty-peneliti variasi Agama di Jawa—juga menarik teori bahwa ikatan emosional masyarakat Islam Kejawen terhadap warisan kulturnya adalah sangat tinggi.




C.     Mitos : Antara Simbol dan Makna
 Bagi sebagian kalangan menilai mitos itu selalu berkonotasi negatif. Dalam konteks seperti ini mitos hanya dilihat secara normatif, yaitu baik dan negatifnya, boleh dan tidak bolehnya mitos tersebut diyakini. Padahal yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana komponen-komponen serta konstruks mitos itu dibangun. Apakah mitos itu dibangun atas kerangka konsep  kosmologi masing-masing situasi? Apakah mitos itu dibangun atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga ia selalu sarat dengan makna? Secara umum mitos selalu dihubungkan dengan masyarakat mistis, namun demikian tidak berarti masyarakat modern telah meniadakan mitos ini sama sekali. Karena tidak jarang masyarakat modern yang masih percaya pada warisan kuno, warisan spiritual. Pada hakikatnya mitos selalu muncul dalam ranah psikis manusia. Menurut Jamhari mitos adalah model pengartikulasian intelektual primordial dari kepercayaan. Mitos berarti suatu sikap keagamaan atau merupakan filsafat primitif, pengungkapan pemikiran yang sederhana, serangkaian usaha untuk memahami dunia, untuk menjelaskan kehidupan dan kematian, takdir dan hakikat,
tuhan dan pemujaan.  Selain itu mitos juga dipahami sebagai pernyataan manusia yang kompleks dan dramatis, yang melibatkan pikiran, perasaan, sikap dan sentimen.  Dengan demikian mitos itu berada di luar dunia empirik, tetapi mitos selalu mengaktualkan apa yang telah dikisahkan. Dalam agama primitif kuno, agama telah menyatukan antara aku dan dia., manusia dengan objek suci. Bahkan ada yang mengatakan bahwa mitos merupakan salah satu komponen  universal dari agama. Bagi kebanyakan agama mengandung eksplanasi mitos terutama mengenai asal mula jagad raya kelahiran, penciptaan, kematian, dan disintegrasi, baik dalam arti individual maupun kemanusiaan. Sementara itu Peursen juga mengatakan bahwa mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu  pada kelompok pendukungnya. Oleh karena manusia dulu membuat cerita maupun lambang yang mampu mencetuskan lambang kebaikan maupun kejahatan melalui mitos. Dengan demikian mitos merupakan sebuah medium yang netral, tergantung kepada misi dan visi pesan-pesan yang hendak disampaikan. Adakalanya berupa pesan-pesan politik, demikian juga pesan-pesan agamis dan moralis.  Dengan demikian mitos yang dibangun oleh lingkungan istana tentu akan sangat berbeda pesan-pesannya dengan mitos yang dibangun oleh lingkungan pedesaan (wong cilik). Karena bagaimanapun lingkungan budaya istana kejawen tetap mempertahankan falsafah “raja titisan dewa” dengan mitologi kuno
warisan zaman Syiwa-Budha. Oleh karena itu  praktek mitologis tentang Nyai Rara Kidul, Pusaka yang dikeramatkan dan upacara tradisional masa lalu bisa jadi ditafsirkan sebagai medium politis yang amat efektif untuk melanggengkan wibawa kerajaan Jawa tradisional. Melalui cara ini pula kelanggengan dan kewibawaan warisan Hindu-Budha kejawen tetap terasa hingga kini, meski keuatan mitologi islam tetap bersaing.  Atas dasar misi ini pulalah Sultan Agung tetap memilih tahun satu saka sebagai pangkal perhitungan tahun Jawa, meski dasarnya telah dirubah dengan tahun qamariyah.  Kuatnya pengaruh mitos itu bisa kita saksikan misalnya, pada pola budaya islam kejawen hingga zaman Mataram ini. Pola budaya islam kejawen itu dalam kenyataannya tidak mengalami perubahan yang signifikan, bahkan ia seperti pola budaya kejawen pada zaman Hindu-Budha. secara formal agama memang mengalami perubahan, yaitu dari Hindu-Budha kejawen beralih ke islam kejawen. Sementara konsep manunggaling kawula Gusti tak lebih dari sekadar dasar filsafat kebatinan yang dimanfaatkan untuk kebutuhan politik juga, yaitu memitoskan raja dan mengkeramatkan kalangan priyayi yang mendukung dinastinya. Bukti argumentasi ini bisa kita konfirmasikan pada suatu kenyataan bahwa belum ada di kalangan tokoh priyayi Jawa yang sekaliber al-Hallaj. Tidak ada tokoh wali yang muncul dari keluarga Mataram kecuali cerita rekaan tentang Siti Jenar. Hal ini terlihat jelas melalui kemunculan tarikat kebatinan pada zaman kemodernan Indonesia dewasa ini. Dalam berbagai macam tarikat kebatinan itu, dimensi politislah yang paling dominan, sementara aspek penghayatan terhadap mitos manunggaling Kawula Gusti justru semakin lemah. Bentuk-bentuk mitos ini juga terjadi dalam peringatan hari-hari besar islam, seperti grebeg mulud, grebeg puasa, grebeg besar, tanggap warsa. Koentjoroningrat mengatakan bahwa pada tanggal 12 bulan Maulud orang memperingati hari wafat dan hari lahirnya Nabi Muhammad (muludan). Baik para penduduk desa maupun para priyayi di kota-kota yang menganut “agami jawi” mereka mengadakan selamatan sekitar tanggal 12 maulud tersebut. Hidangan pertama pada perayaan maulud itu adalah tumpeng dan ayam yang dimasak dengan bumbu-bumbu dalam keadaan yang utuh (dibuang bulunya dan dibuang isi perutnya)
Hal serupa juga terjadi di Surakarta dan Yogyakarta, mauludan dirayakan dengan mengadakan pesta sekaten dan upacara kerajaan gerebeg mulud. Seminggu sebelum tanggal 12 maulud itu alat-alat gamelan suci dari keraton yang dinamakan kiai sekati dipindahkan ke masjid. Gamelan dimulai dari jam enam pagi sampai jam 12 tengah malam tanpa berhenti, dan menjadi tontonan beribu-ribu orang yang datang dari pelosok kota, bahkan dari desa-desa sekitarnya juga. Puncak dari acara ini adalah saat dibagikannya makanan keramat yang dinamakan gunungan kepada rakyat, yang terdiri dari 10 sampai 12 tumpeng raksasa, yang masing-masing tingginya sekitar dua meter dan dihias dengan indah. Dalam upacara resmi keagamaan pun muncul sinkretisme keagamaan. Perpaduan aspek islam dengan alam pikiran tradisi lama, seperti pengkeramatan acara selamatan merupakan aspek sosial religius yang sangat efektif yang sulit dihindari oleh masayarakat kejawen. Karena itu wajar jika Koentjoroningrat menamakan sebagai agama jawi. Praktek mitologi seperti ini semakin lama semakin kokoh karena secara pereodik perilaku mitos ini diperkuat dengan ritualitas-ritualitas tertentu. Tentu aktor yang paling diuntungkan dalam upacara ritual keagamaan seperti ini adalah para elit, baik elit pemerintahan maupun elit agama. Bagi masyarakat pedesaan tradisional adat istiadat keagamaan memiliki daya pengikat tersendiri. Meninggalkan tradisi berarti mengancam kelanggengan eksistensi masyarakatnya. Islam yang harus hidup dalam masyarakat tertentu harus mampu bergulat dengan adat istiadat tradisional yang pada umumnya bersendi pada kepercayaan mitologis. Dalam pergulatan ini sangatlah mungkin unsur-unsur islam dihilangkan untuk ramuan tradisi budaya. Mungkin pula islam ditumpangi oleh unsur tradisi lama. Inilah  makna simbolik dari aspek mitologis yang sangat politis. Namun demikian tidak menutup kemungkinan munculnya beberapa penafsiran mitologis dalam tradisi Jawa ini yang mengarah pada aspek moralitas.
D.     Kesimpulan
1.      Bagi kalangan masyarakat Islam kejawen, membangun keyakinan di atas dua intuisi keagamaan --yaitu agama formal dan agama lokal—bukanlah hal yang sulit, karena mereka mengira bahwa dalam kontek esoteris diantara dua bentuk intuisi itu memiliki keserupaan dan titik simpul, meski dengan redaksi yang berbeda.
2.       Bagi masyarakat islam kejawen makna simbol-simbol budaya dalam agama sangatlah berarti, semuanya tergantung pada bagaimana kita menafsirkannya. Tetapi yang pasti bahwa simbol-simbol budaya merupakan medium yang sangat strategis untuk mencapai tujuan tertentu.
3.      Dalam kontek visi dan misi , Jawa tetap unggul dalam memerankan makna mitos dalam kehidupannya jika dibandingkan dengan islam santri. Hal ini terbukti bahwa beberapa perayaan hari-hari besar islam pun kini sudah sarat dengan pesan-pesan mitologis yang berbau jawa dan menguntungkan pada warisan jawa. Oleh karena itu dalam konteks masyarakat jawa, islam santri tidak akan mampu membawa misi ajaran murninya, kecuali harus memadukannya, mempertemukannya. Inilah yang pada akhirnya disebut dengan sinkretisme agama. Sementara pelakunya menjadi islam kejawen.

DAFTAR PUSTAKA
Andrew Beatty, Variasi Agama di Jawa, di terjemahkan oleh A. Fidyani Saifuddin, (Jakarta : Raja Grafindo, 2001)
Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, (dari Denzin Guba dan Penerapannya), (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana, 2001)
Amri Marzali, Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan, (Jakarta : Adi Karya IKAPI, 2003).
Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accomodation of Social change (Oxford Westview Press, 1991).
Cliford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York : basic Book, 1973).

Daniel L. Pall, Seven Theories of Religion (New York, mac Millon, 1970).
Dedy N. Hidayat, Paradigma dan Metodologi, 09/12/1998

http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/mitos-dalam-tradisi-keagamaan-masyarakat-islam-kejawen-implementasinya-terhadap-perkembangan-dan-dinamika-pemikiran-hukum-islam-di-indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar